SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1431 H _ Taqabbalallahu minna wa minkum_ ja'alanallhu waiyyakum minal 'Aidzina wal Faizin ..

Hasan Al Basri

Minggu, 04 Juli 2010

Beliau adalah putra dari dari salah satu budak dari sahabat utama Zaid bin Tsabit. Seorang budak yang paling disayangi dan diutamakan dari budak lainnya. Ibunya Khairah juga seorang budak yang paling di sayangi salah istri Rasulullah S.A.W yaitu Hindun binti Suhail, yang sering dipanggil dengan nama Ummu Salamah. Ingin tahu lebih banyak tentang kisah beliau salah satu tabi’in yang mulia ini. Baca terus kisah beliau di bawah ini….. :)

HASAN AL-BASRI

Telah datang berita gembira kepada istri Rasulullah S.A.W, Ummu Salamah, bahwa budaknya yang bernama Khairah telah melahirkan seorang bayi laki-laki.Ummul Mukminin hanyut dalam kegembiraan dan wajahnya tam­pak ceria dan berseri-seri. Dia mengutus seseorang untuk membawa ibu dan bayinya ke rumah selama masa-masa pemulihan pasca me­lahirkan. Khairah adalah budak yang paling beliau sayangi dan beliau telah rindu menantikan kelahiran bayi pertama dari budaknya itu.

Tak lama setelah itu Khairahpun datang dengan bayi di gen­dongan­nya. Ketika Ummu Salamah memandangnya, beliau langsung menyukai bayi itu karena wajahnya yang tampan dan cerah, menarik hati siapapun yang memandangnya.

Ummu Salamah bertanya kepada budaknya: “Sudahkah engkau memberikan nama untuknya wahai Khairah?” Khairah menjawab: “Belum, aku ingin andalah yang memilihkan nama untuknya sesuka Anda.”

Ummu Salamah berkata: “Kita akan memberi nama yang diber­kahi Allah S.W.T yaitu Hasan.” Lalu beliau mengangkat tangannya untuk mendoakan kebaikan bagi sang bayi.

Kebahagiaan atas kelahiran Hasan itu tidak hanya dirasakan oleh keluarga Ummul Mukminin Ummu Salamah saja. Namun juga dirasakan oleh seisi rumah di Madinah, yaitu di rumah sahabat utama yang juga penulis wahyu Rasulullah Zaid bin Tsabit. Sebab ayah si bayi, yakni Yasaar, adalah budak Zaid bin Tsabit yang paling disayangi dan diutamakan di antara budak yang lain.

Hasan bin Yassar (yang pada akhirnya lebih terkenal dengan sebut­an Hasan Al-Basri) tumbuh di salah satu rumah Nabi S.A.W, besar di pangkuan salah satu istri beliau, yaitu Hindun binti Suhail yang lebih sering dipanggil dengan Ummu Salamah .

Adapun Ummu Salamah -kalau pembaca belum tahu- adalah se­orang wanita Arab yang paling sempurna akalnya, paling banyak keutamaannya dan paling teguh pendiriannya. Beliau adalah istri na­­­bi yang paling luas pengetahuannya dan paling banyak meriwa­yatkan hadits dari Rasulullah. Beliau meriwayatkan sebanyak 387 ha­dits. Beliau juga termasuk dari sedikit bilangan wanita di masa ja­hiliyah yang mampu baca-tulis.

Hubungan bayi yang beruntung itu dengan Ummu Salamah tidak hanya sebatas itu. Lebih jauh lagi, karena seringkali ibunda beliau, Khai­rah, harus keluar dari rumah untuk mengurus kebutuhan Ummul Muk­minin sehingga harus meninggalkan bayinya. Bila sang bayi me­nangis karena lapar, maka Ummul Mukminin meletakkan bayi itu di pang­kuannya, lalu disusui supaya diam. Karena rasa cintanya ter­ha­dap bayi itu, Ummul Mukminin bisa mengeluarkan air susu yang kemudian di­minum oleh si bayi hingga merasakan kenyang dan diam dari ta­ngis­nya. Dengan demikian, kedudukan Ummu Salamah bagi Hasan Al-Basri adalah sebagai ibu dalam dua sisi. Pertama karena Hasan Al-Basri adalah seorang dari mukminin sedang Ummu Salamah adalah Ummul Mukminin. Kedua Ummu Salamah adalah ibu susuan bagi beliau.

Anak ini meraih kesempatan emas untuk bergaul dengan istri-istri Nabi S.A.W, sebab rumah – rumah mereka berdekatan sehingga ia bisa bermain dari satu rumah ke rumah yang lain. Sudah barang tentu akh­­lak beliau terwarnai oleh para penghuni rumah itu dan men­da­patkan bimbingan dari mereka.

Seperti yang diceritakan oleh Hasan Al-Basri sendiri, dia mengisi ru­mah Ummul Mukminin dengan ketangkasannya yang me­nye­nang­kan. Sering dia naik ke atap rumah lalu berpindah-pindah de­ngan lincahnya.

Hasan dibesarkan dalam suasana yang diterangi oleh cahaya nubu­wah dan meneguk sumber air jernih (ilmu) yang tersedia di ru­mah-rumah ummahatul mukminin. Beliau juga berguru kepada saha­bat-sahabat utama di Masjid Nabawi. Beliau meriwayatkan dari Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abu Musa Al-Asy’ari, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Anas bin Malik, Jabir bin Abdillah dan lain-lain.

Meski demikian, kekaguman yang paling menonjol jatuh kepada Ali bin Abi Thalib. Dia mengagumi keteguhan agamanya, keteku­nan ibadahnya, kezuhudannya terhadap kesenangan dunia, kefasih­an lidahnya, hikmah-hikmahnya yang berkesan di hatinya, ke­man­tapan tutur katanya dan nasihat-nasihatnya yang menggetarkan hati. Sehingga beliau berusaha berakhlak dengannya dalam hal takwa dan ibadah serta mengikuti jejaknya dalam memberikan keterangan dan kefasihan bahasanya.

Menginjak usia 14 tahun, ketika memasuki usia remaja, beliau ber­pindah bersama kedua orang tuanya ke Bashrah dan menetap di sana. Dari sinilah muncul julukan Al-Basri, yang di nisbahkan pada kota Bashrah. Lalu keutamaan beliau mulai dikenal orang-orang di Bashrah.

Di saat Hasan Al-Basri menjadi imam, kota Basrah merupakan ben­teng Islam yang terbesar dalam bidang ilmu pengetahuan. Mas­jidnya yang agung penuh dengan para sahabat dan tabi’in yang hijrah ke sana dan halaqah-halaqah keilmuan dengan beraneka ragam dan coraknya memakmurkan masjid-masjid dan suraunya.

Hasan Al-Basri tinggal di masjid itu dan menekuni halaqah Abdullah bin Abbas Habru umati Muhammad (Ustadnya umat Muhammad). Dia mengambil pelajaran tafsir, hadits, qira’ah, fiqh, adab, bahasa dan se­bagainya. Hingga beliau menjadi seorang ulama besar dan fu­qa­ha yang terpercaya.

Maka, umat banyak menggali ilmunya, mendatangi majelisnya ser­ta mendengarkan ceramahnya yang mampu melunakkan jiwa-ji­wa yang keras dan mencucurkan air mata orang-orang yang ter­lanjur ber­buat dosa. Banyak orang terpikat dengan hikmahnya yang mempesona.

Nama Hasan Al-Basri telah menyebar di seluruh daerah dan di­kenal dimana-mana.

Para gubernur dan khalifah menanyakan dan mengikuti beri­tanya.

Khalid bin Shafwan bercerita: “Aku bertemu dengan Maslamah bin Abdul Malik di daerah Hirah, beliau berkata: “Wahai Khalid, ce­ritakan kepadaku tentang Hasan Al-Basri, aku rasa engkau lebih me­ngenalnya dari yang lain.”

Aku berkata: “Semoga Allah menjaga Anda. Saya sebaik-baik orang yang akan memberikan keterangan tentang Hasan Al-Basri wahai Amir, karena saya adalah tetangga sekaligus muridnya yang setia. Sa­ya lebih mengenal beliau daripada orang Basrah lainnya.”

Beliau berkata: “Ceritakan apa yang Anda ketahui tentangnya.” Sa­ya berkata: “Beliau adalah orang yang hatinya sama dengan la­hiriyahnya, perkataannya serasi dengan perbuatannya. Jika me­nyu­ruh perkara yang ma’ruf, maka beliau pula yang paling sanggup me­lakukannya. Jika melarang yang mungkar, beliau pula yang paling mampu meninggalkannya. Saya mendapatinya sebagai orang yang tidak memerlukan pemberian; dan zuhud terhadap apa yang ada di tangan orang lain. Sebaliknya saya dapati betapa orang-orang me­merlukan dan menginginkan apa yang dimilikinya.”

Maslamah berkata: “Cukup wahai Khalid, cukup. Bagaimana kaum itu bisa sesat, bila ada orang semisal dia di tengah-tengah me­reka?”

Ketika Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi berkuasa di Irak, bertindak se­wenang-wenang dan kejam di wilayahnya, Hasan Al-Basri adalah ter­masuk dalam bilangan sedikit orang yang berani menentang dan me­ngecam keras akan kezhaliman penguasa itu secara terang-terangan.

Suatu ketika, Hajjaj membangun istana yang megah untuk dirinya di kota Wasit. Ketika pembangunan selesai diundangnya orang-orang untuk melihat dan mendoakannya. Hasan Al-Basri tak mau menyia-nyiakan kesempatan yang baik di mana banyak orang sedang berkum­pul. Dia tampil memberikan ceramah, mengingatkan mereka agar ber­si­kap zuhud di dunia dan menganjurkan manusia untuk mengejar apa yang ada di sisi Allah S.W.T.

Begitulah, ketika Hasan Al-Basri tiba di tempat itu dan melihat be­­gitu banyak orang-orang mengelilingi istana yang megah dan indah dengan halamannya yang luas, beliau berdiri untuk berkhutbah. Di antara yang beliau sampaikan adalah: “Kita mengetahui apa yang di­bangun oleh manusia yang paling kejam dan kita dapati Fir’aun yang mem­bangun istana yang lebih besar dan lebih megah daripada ba­ngunan ini. Namun kemudian Allah membinasakan Fir’aun beserta apa yang dibangunnya. Andai saja Hajjaj sadar bahwa penghuni langit telah membencinya dan penduduk bumi telah memperdayakannya…”

Beliau terus mengkritik dan mengecam hingga beberapa orang mengkhawatirkan keselamatannya dan memintanya berhenti: “Cu­kup Wahai Abu Sa’id, cukup.”

Namun Hasan Al-Basri berkata: “Wahai saudaraku, Allah  telah mengambil sumpah dari ulama agar menyampaikan kebenaran ke­pada manusia dan tak boleh menyembunyikannya.”

Keesokan harinya Hajjaj menghadiri pertemuan bersama para pe­jabatnya dengan memendam amarah dan berkata keras: “Celakalah ka­­lian! Seorang dari budak-budak Basrah itu memaki-maki kita de­ngan seenaknya dan tak seorangpun dari kalian berani mencegah dan menjawabnya. Demi Allah, akan kuminumkan darahnya kepada kalian wahai para pengecut!”

Hajjaj memerintahkan pengawalnya untuk menyiapkan pedang be­serta algojonya dan menyuruh polisi untuk menangkap Hasan Al-Basri.

Dibawalah Hasan Al-Basri, semua mata mengarah kepadanya dan hati mulai berdebar menunggu nasibnya. Begitu Hasan Al-Basri melihat algojo dan pedangnya yang terhunus dekat tempat hukuman mati, beliau menggerakkan bibirnya membaca sesuatu. Lalu berjalan mendekati Hajjaj dengan ketabahan seorang mukmin, kewibawaan se­orang muslim dan kehormatan seorang da’i di jalan Allah.

Demi melihat ketegaran yang demikian, mental Hajjaj menjadi ciut. Terpengaruh oleh wibawa Hasan Al-Basri, dia berkata ramah: “Si­lakan duduk di sini wahai Abu Sa’id, silakan…”

Seluruh yang hadir menjadi bengong dan terheran-heran melihat pe­rilaku amirnya yang mempersilahkan Hasan Al-Basri duduk di kursinya. Sementara itu, dengan tenang dan penuh wibawa Hasan Al-Basri duduk di tempat yang disediakan. Hajjaj menoleh kepadanya lalu me­nanyakan berbagai masalah agama, dan dijawab Hasan Al-Basri dengan jawaban-jawaban yang menarik dan mencerminkan penge­tahuannya yang luas.

Merasa cukup dengan pertanyaan yang diajukan, Hajjaj berkata: “Wahai Abu Sa’id, Anda benar-benar tokoh ulama yang hebat.” Dia semprotkan minyak ke jenggot Al-Basri lalu diantarkan sampai di depan pintu.

Sesampainya di luar istana, pengawal yang mengikuti Hasan Al-Basri berkata: “Wahai Abu Sa’id sesungguhnya Hajjaj memanggil Anda untuk suatu urusan yang lain. Ketika Anda masuk dan melihat algojo dengan pedangnya yang terhunus, saya lihat Anda membaca se­suatu, apa sebenarnya yang Anda lakukan ketika itu?”

Beliau berkata: (Aku berdo’a) “Wahai Yang Maha Melindungi dan tempatku ber­sandar dalam kesulitan, jadikanlah amarahnya menjadi dingin dan menjadi ke­selamatan bagiku sebagaimana Engkau jadikan api menjadi dingin dan keselamatan bagi Ibrahim.”

Kejadian serupa sering dialami Hasan Al-Basri berhubungan de­ngan para wali negeri dan amir, di mana beliau selalu lolos dari setiap kesulitan tanpa menjatuhkan wibawanya di mata para penguasa ter­dengan lindungan dan pemeliharan Allah S.W.T.

Setelah wafatnya khalifah yang zuhud Umar bin Abdul Aziz, ke­kuasaan beralih ke tangan Yazid bin Abdul Malik. Khalifah baru ini mengangkat Umar bin Hubairah Al-Farazi sebagai gubernur Irak sam­pai Khurasan. Yazid ditengarai telah berjalan tidak seperti jalannya kaum salaf yang agung. Dia senantiasa mengirim surat ke­pada walinya, Umar bin Hubairah agar melaksanakan perintah-perin­tah yang ada kalanya melenceng dari kebenaran.

Untuk memecahkan problem itu, Umar bin Hubairah me­mang­gil para ulama di antaranya Asy-Sya’bi dan Hasan Al-Basri. Dia berkata: “Sesungguhnya Amirul Mukminin, Yazid bin Abdul Malik telah di­angkat oleh Allah S.W.T, sebagai khalifah atas hamba-hamba-Nya. Sehingga wajib ditaati dan aku diangkat sebagai walinya di negeri Irak sampai daerah Persia. Dia selalu menulis surat perintah yang ada­ kalanya kupandang tidak adil. Dalam keadaan yang demikian, bisa­kah kalian memberikan jalan keluar untukku, apakah aku harus men­taati perin­tah-perintahnya yang bertentangan dengan agama?”

Asy-Sya’bi menjawab dengan jawaban yang lunak dan sesuai de­ngan jalan pikiran pemimpinnya itu, sedangkan Hasan Al-Basri tidak berkomentar sehingga Umar menoleh kepadanya dan bertanya: “Wahai Abu Sa’id, bagaimana pendapatmu?”

Beliau berkata: “Wahai Abu Hubairah, takutlah kepada Allah atas Yazid dan jangan takut kepada Yazid karena Allah. Sebab ketahuilah bahwa Allah S.W.T bisa menyelamatkanmu dari Yazid, sedangkanYazid tak mampu menyelamatkanmu dari murka Allah. Wahai Ibnu Hubairah, aku khawatir akan datang kepadamu malaikat maut yang keras dan tak pernah menentang perintah Rabb-nya lalu memindahkanmu dari istana yang luas ini menuju liang kubur yang sempit. Di situ engkau tidak akan bertemu dengan Yazid. Yang kau jumpai hanyalah amalmu yang tidak sesuai dengan perintah Rabb-mu dan Rabb Yazid.”

“Wahai Ibnu Hubairah, bila engkau bersandar kepada Allah dan ta­at kepada-Nya, maka Dia akan menahan segala kejahatan Yazid bin Abdul Malik atasmu di dunia dan akhirat. Namun jika engkau lebih suka menyertai Yazid dalam bermaksiat kepada Allah, niscaya Dia akan membiarkanmu dalam genggaman Yazid. Dan sadarilah wahai Ibnu Hubairah, tidak ada ketaatan bagi makhluk, siapapun dia, bila untuk bermaksiat kepada Allah.”

Umar bin Hubairah menangis hingga basah jenggotnya karena terkesan mendengarnya. Dia berpaling dari Asy-Sya’bi kepada Hasan Al-Basri, Umar semakin bertambah hormat dan memuliakannya. Se­telah kedua ulama itu keluar dan menuju ke masjid, orang-orang­pun datang berkerumun ingin mengetahui berita pertemuan mereka dengan amir Irak tersebut.

Asy-Sya’bi menemui mereka dan berkata: “Wahai manusia, ba­rangsiapa mampu mengutamakan Allah atas makhluk-Nya dalam sega­la keadaan dan masalah, maka lakukanlah. Demi yang jiwaku ada di ta­ngan-Nya, semua yang dikatakan Hasan Al-Basri kepada Umar bin Hubairah juga aku ketahui. Tapi yang kusampaikan kepadanya adalah untuk wajahnya, sedangkan Al-Basri menyampaikan kata-katanya demi mengharap wajah Allah S.W.T. Maka aku disingkirkan Allah S.W.T dari Ibnu Hubairah, sedangkan Al-Basri didekati dan dicintai…”

Allah memberikan karunia umur kepada Hasan Al-basri hingga berusia lebih dari 80 tahun dan telah memenuhi dunia ini dengan ilmu, hikmah dan fiqih. Warisan yang diunggulkannya bagi generasi kini di antaranya adalah kehalusannya yang mampu menyegarkan jiwa dan nasihat-nasihatnya yang mampu menyentuh hati dan menjadi petunjuk bagi mereka yang lalai akan hakikat kehidupan dan dunia serta ihwal manusia dalam menyikapi dunia.

Beliau pernah ditanya oleh seseorang tentang dunia dan kea­da­annya. Beliau berkata: “Anda bertanya tentang dunia dan akhirat. Se­sungguhnya perumpamaan dunia dan akhirat adalah seperti timur dan barat, bila yang satu mendekat, maka yang lain akan menjauh.”

Dan Anda memintaku supaya menggambarkan tentang keadaan dunia ini. Ma­ka aku katakan bahwa dunia diawali dengan kesulitan dan diakhiri dengan kebinasaan, yang halal akan dihisab dan yang ha­ram akan be­rujung siksa. Yang kaya akan menghadapi ujian dan fit­nah, sedang yang miskin selalu dalam kesusahan.”

Adapun jawaban terhadap pertanyaan orang lain tentang kea­daannya dan keadaan orang lain dalam menyikapi dunia beliau ber­ka­ta: “Duhai celaka, apa yang telah kita perbuat atas diri kita? Kita telah me­nelantarkan agama kita dan menggemukkan dunia kita, kita rusak akhlak kita dan kita perbaharui rumah, ranjang serta pakaian kita. Bertumpu pada tangan kiri, lalu memakan harta yang bukan haknya.

Makanannya hasil menipu

Amalnya karena terpaksa

Ingin yang manis setelah yang asam

Ingin yang panas setelah yang dingin

Ingin yang basah setelah yang kering

Hingga manakala telah penuh perutnya ia berkata: “Wahai anak­ku, ambillah obat pencerna.“ Hai orang yang dungu, sesungguhnya yang kau cerna itu adalah agamamu.

Mana tetanggamu yang lapar?

Mana yatim-yatim kaummu yang lapar?

Mana orang miskin yang menantikan uluranmu?

Mana nasihat Allah dan rasul-Nya?

Kalau saja engkau sadari hisabmu. Tiap kali terbenam mataha­ri, berkuranglah satu hari usiamu dan lenyaplah sebagian yang ada padamu.”

Kamis malam di bulan Rajab 110 H, Hasan Al-Basri pergi me­menuhi panggilan Rabb-nya. Pagi harinya menjadi pagi duka cita bagi kota Bashrah.

Jenazahnya dimandikan, dikafani dan dishalatkan setelah shalat Jum’at di masjid Jami’ Basrah, masjid tempat di mana beliau meng­ha­biskan banyak waktu hidupnya, belajar dan mengajar serta menye­ru ke jalan Allah.

Orang-orang mengiringkan jenazahnya dan hari itu tak ada shalat ashar di Masjid Jami’ tersebut karena tak ada yang menegakkannya. Dan shalat jama’ah ashar tidak pernah absen sejak dibangunnya masjid itu kecuali di hari itu. Hari di ma­na Hasan Al-Basri berpulang ke haribaan Rabb-nya.

Sumber : Pustaka At-Tibyan, Solo, Jejak Para Tabi’in.

0 komentar:

Posting Komentar