SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1431 H _ Taqabbalallahu minna wa minkum_ ja'alanallhu waiyyakum minal 'Aidzina wal Faizin ..

Abdurrahman Al Ghafiqi

Minggu, 04 Juli 2010

Abdurahman Al Gafiqi adalah seorang Tab’in beliau pernah berguru kepada sahabat utama, Abdullah bin Umar bin Khaththab yang ilmu dan perilakunya sangat mirip dengan ayahnya Umar bin Kaththab. Beliau juga seorang Gubernur Andalusia pada masa ke khalifahan Umar bin Abdil Aziz, beliau gugur di medan pertempuran yang terkenal dengan nama pertempuran “Balath Syuhada”, sehingga tidak hanya kaum muslimin saja yang merasa bersedih kehilangan seorang Tabi’in yang mulia, Orang-orang barat yang berakal sehatpun merasakan demikian. Bagi mereka kemenangan nenek moyang mereka atas kaum muslimin di poiters merupakan musibah besar bagi umat manusia. Khususnya merugikan eropa dalam hal kemajuan. Berikut kita simak perjalanan Pahlawan kaum muslimin Gubernur Andalusia Ahdurrahman Al-Ghafiqi……. Selamat membaca
ABDURRAHMAN AL-GHAFIQI(Gubernur Andalusia)
Sesudah khalifah Umar bin Abdil Aziz membersihkan ta­ngan­nya usai menghadiri pemakaman putera pamannya yak­ni khalifah Sulaiman bin Abdul Malik, beliau mengadakan pergantian para gubernur dan pejabat secara besar-besaran. Di antara pejabat baru yang dilantik adalah As-Samah bin Malik Al-Khaulani yang bertanggungjawab atas seluruh Andalusia (Sekarang dan beberapa kota yang telah ditaklukkannya di Perancis.Gubernur baru ini segera menempati tempat dinasnya di Spanyol. Kemudian mengamati situasi dan mencari sahabat-sahabat baik yang bisa membantunya. Yang pertama kali beliau tanyakan adalah: “Ma­sih adakah generasi tabi’in senior di sini?” Orang-orang men­jawab: “Masih, di sini masih ada seorang tabi’in utama bernama Abdurrahman Al-Ghafiqi.” Lalu mereka memuji ilmu dan keahlian tabi’in tersebut tentang hadits-hadits nabi S.A.W, perannya dalam jihad, kerinduannya akan syahadah fi sabilillah dan zuhudnya terhadap kesenangan du­niawi. Beliau juga berguru kepada sahabat utama, Abdullah bin Umar bin Khaththab yang ilmu dan perilakunya sangat mirip dengan ayah­nya.
Gubernur As-Samah bin Malik segera mengundang Abdurrahman Al-Ghafiqi. Kedatangan tokoh tabi’in tersebut disambut dengan pe­nuh hormat, kemudian keduanya duduk berdampingan selama bebe­rapa jam, berdialog tentang masalah-masalah umat dan negara. Tam­paklah dari pembicaraan tersebut betapa ilmu dan kemuliaan Abdurrahman Al-Ghafiqi jauh lebih bagus dari kabar yang didengarnya dari orang-orang.
Pembicaraan berakhir dengan tawaran As-Samah bin Malik kepa­da Abdurrahman Al-Ghafiqi agar sudi membantunya dalam jajaran pemerintahan. Hanya saja tabi’in tersebut menolak dan berkata: “Wa­hai Gubernur, saya adalah rakyat biasa yang datang kemari sebagai pra­jurit yang menjaga perbatasan dan ancaman dari musuh-musuh Islam. Saya telah bernadzar pada diri sendiri untuk mencari ridha Allah S.W.T dan memanggul senjata untuk meninggikan kalimat Allah di muka bumi. Tapi insya Allah saya akan selalu di belakang Anda se­­la­ma Anda tetap menegakkan kebenaran. Saya akan senantiasa pa­tuh kepada Anda selagi Anda taat kepada Allah dan rasul-Nya. Oleh karena itu, rasanya tidak perlu saya menduduki sebagai pejabat.
Beberapa lama kemudian, As-Samah bin Malik Al-Khaulani me­ren­canakan penyerbuan ke Perancis untuk menggabungkannya de­ngan wilayah kedaulatan Islam yang besar. Di samping wilayah ini efektif menjadi jalan masuk untuk menembus negara-negara Balkan yang luas, kemudian terus ke Konstantinopel untuk mewujudkan apa yang telah dikabarkan oleh Rasulullah S.A.W.
Target pertama adalah merebut kota Narbonne, kota terbesar yang terdekat dengan Spanyol. Dari lereng pegunungan Pyrenees kaum muslimin menuju kota Narbonne yang berdiri kokoh laksana gunung kokoh tak tergoyahkan. Kota ini merupakan kunci pembuka daratan Perancis yang luas dan orang-orang menjadikannya sebagai kota impian. Mulailah pasukan As-Samah bin Malik Al-Khaulani mengepung Narbonne. Seperti biasa, penduduk terlebih dahulu diberi opsi, me­meluk Islam atau membayar jizyah. Namun mereka tidak menerima kedua-duanya. Tak dapat dielakkan, perangpun meletus. Prajurit Islam menggempur bertubi-tubi dengan manjanik. Kota tua yang kokoh itu akhirnya menyerah setelah selama empat pekan bertahan dalam pertempuran dahsyat yang belum pernah disaksikan oleh Eropa. berikutnya adalah Toulouse, ibukota Octania. Tanpa mem­buang-buang waktu, pasukan Islam segera memasang semacam ran­jau-ranjau di berbagai tempat, kemudian memulai serangan dengan senjata-senjata yang tidak dikenal di Eropa. Nyaris saja kota ini me­nye­rah, hanya saja terjadilah peristiwa yang tidak terduga sebe­lum­nya. Mari kita ikuti bagaimana seorang orientalis Perancis bernama Rhino menggambarkan perang besar tersebut:
Kejayaan di pihak pasukan Islam sudah di ambang pintu. Ketika itu, raja Octania bertolak ke Eropa untuk mencari bala bantuan. Dia menyebar utusan-utusan ke seluruh negeri. Dia memprovokasi raja-raja Eropa dengan cara memperingatkan akan bahaya ekspansi Islam yang akan merambat ke wilayah mereka juga. Sehingga kaum wanita dan anak-anak mereka sebagai tawanan. Hasilnya, tak satu negeri pun melainkan mengirimkan pasukan khususnya lengkap dengan per­sen­jataan yang menjadi andalan mereka.
Jumlah pasukan begitu besar, gemuruh suara para tentara dan leng­kapnya senjata perang belum pernah dilihat dunia sebelum itu. Hing­ga debu-debu terbang menutupi kota Rhone dari sinar matahari, lan­taran banyaknya kaki yang menginjaknya.
Tatkala dua kubu telah berhadap-hadapan, terbayang oleh orang-orang seakan gunung tengah berhadapan dengan gunung. Perang sengit tak terelakkan lagi. As-Samah bin Malik selalu di garis depan. Dia dijuluki Dzaama, bergerak dengan tangkas ke sayap kanan dan sa­yap kiri tanpa mengenal lelah. Pada saat itulah anak panah melun­cur mengenai dirinya. Maka robohlah panglima tertinggi yang perkasa itu dan syahid.
Begitu mengetahui panglimanya gugur, goncanglah pasukan Islam. Jatuhlah mental juang mereka, lalu barisan pun mulai kocar-ka­cir. Mereka bergerak mundur dan hampir dapat dipastikan bahwa pasukan Eropa berhasil menghancurkan mereka kalau saja pada saat yang kritis itu tidak tampil sosok yang cerdas dan tangguh yang selama ini telah disegani Eropa, yaitu Abdurrahman Al-Ghafiqi. Di bawah komando panglima baru ini, pasukan Islam bergerak mun­dur tanpa mengalami banyak kerugian. Mereka bergerak ke Spanyol dengan tekad kelak akan menebus kekalahannya.
Demikianlah, perang besar Toulouse telah melahirkan panglima baru yang tangkas dan berhasil menyelamatkan pasukan Islam dari timbulnya banyaknya korban. Jika pasukan itu ibarat kafilah yang ham­pir mati kehausan di tengah sahara, maka Abdurrahman Al-Ghafiqi adalah orang yang menyuguhkan minum kepada mereka. Beliau menjadi tumpuan para prajurit muslimin untuk memulihkan ke­kuat­an dan membimbing mereka menjauhi banyaknya korban yang berja­tuhan.
Tak berlebihan kiranya jika pertempuran Toulouse menorehkan luka pertama yang teramat pedih pada diri pasukan Islam sejak me­nginjakkan kakinya di benua Eropa. Kehadiran Abdurrahman Al-Ghafiqi menjadi penawar luka tersebut dan dengan tangannya yang penuh kasih dia merawat mereka sepenuh perhatian.
Kabar kekalahan pasukan Islam tersebut akhirnya sampai ke te­linga khalifah di Damaskus dan menumbuhkan tekad yang membara untuk membalas gugurnya As-Samah bin Malik Al-Khaulani. Beliau memerintahkan agar seluruh prajurit melakukan bai’at kepada Abdurrahman Al-Ghafiqi. Kini beliau diangkat sebagai pemimpin seluruh Spanyol dan daerah-daerah Perancis yang sudah berhasil dikuasai. Dengan jabatan tersebut beliau mendapatkan otonomi untuk mengatur strategi yang dikehendakinya.
Keputusan itu bukanlah tindakan konyol, karena Abdurrahman Al-Ghafiqi memang seorang yang tangkas, tegas, jujur ,bersih, bijaksana lagi pemberani.Pemimpin baru Abdurrahman Al-Ghafiqi tidak membuang-buang waktu. Beliau segera membenahi kembali pasukan Islam, menempa tekad para prajurit, mengembalikan kepercayaan diri, kehormatan dan kekuatan mereka. Semua ditujukan untuk melanjutkan obsesi tokoh-tokoh muslimin Spanyol sejak Zaman Musa bin Nushair hingga As-Samah bin Malik, yaitu menguasai Perancis, Italia, Jerman hingga Konstantinopel, serta menjadikan laut putih tengah sebagai lautan Islam dan mengganti nama laut Romawi menjadi laut Syam. Hal yang diyakini Abdurrahman Al-Ghafiqi adalah bahwa untuk menyongsong perang besar itu memerlukan pembenahan dan pem­bersihan jiwa prajuritnya. Beliau yakin bahwa umat Islam tak akan ber­hasil mewujudkan cita-citanya untuk meraih kemenangan jika ra­puh kondisi ruhnya.
Bertolak dari sini, Abdurrahman Al-Ghafiqi berkeliling ke seluruh pelosok Andalusia dan mengumumkan bahwa pemerintah telah mem­buka semacam kotak pengaduan bagi rakyat. Barangsiapa me­rasa teraniaya, hendaknya melapor langsung kepada gubernur, tak pe­duli gugatan itu ditujukan kepada pejabat atas, pejabat daerah bah­kan para hakim sekalipun. Maklumat ini ditujukan kepada selu­ruh rakyat tanpa membeda-bedakan yang muslim maupun non muslim.
Selanjutnya, Abdurrahman Al-Ghafiqi memeriksa dan menang­gapi seluruh pengaduan tersebut. Ditindaknya orang-orang yang ber­la­ku aniaya dan dikembalikannya hak-hak orang yang lemah. Beliau meneliti gereja-gereja yang dirampas dan mengembalikannya kepada yang berhak, menghancurkan bangunan-bangunan baru yang di­dirikan dari hasil suap. Kemudian memeriksa para pejabatnya satu demi satu dan memecat para pejabat yang terbukti berkhianat atau menyeleweng. Lalu menggantinya dengan orang-orang yang dapat dipercaya kemampuan dan akhlaknya. Setiap kali memasuki suatu daerah, beliau menyeru kaumnya untuk shalat jama’ah, kemudian berkhutbah untuk memompa semangat jihad dan membangkitkan kerinduan mereka akan syahadah dan mardhatillah.
Abdurrahman Al-Ghafiqi tidak hanya pintar berbicara. Sejak me­megang kendali kekuasaan beliau juga sibuk mempersiapkan berbagai sarana dan prasarana penting. Senjata-senjata diproduksi, latihan-latihan diselenggarakan, benteng-benteng yang rusak dibenahi dan jembatan-jembatan dibangun. Satu di antara jembatan bersejarah yang bisa disaksikan hingga kini adalah yang dibangun di Cordova, ibu­kota Spanyol. Jembatan itu melintasi sungai besar yang bisa diman­fa­atkan untuk lalu lintas dan menjaga negeri itu dari bahaya banjir. Jem­batan itu merupakan salah satu keajaiban dunia. Panjangnya men­capai 800 ba’ (satu ba’ sepanjang dua kali tangan), tinggi 60 ba’, lebar 20 ba’ dengan 18 pintu air dan 19 pilar, hingga kini menjadi kebang­gaan bangsa Spanyol.
Setiap kali Abdurrahman mengunjungi masing-masing wilayah, tak lupa beliau mengadakan pertemuan dengan para pimpinan angkatan bersenjata dan tokoh-tokoh masyarakat. beliau memper­ha­tikan dan mencatat pandangan dan usul-usul mereka. Beliau lebih banyak mendengarkan tanggapan dalam pertemuan-pertemuan itu daripada berbicara. Pertemuan serupa juga digelar untuk para pe­mu­ka dzimmi yang terikat perjanjian dengan muslimin. Tak jarang dia bertanya sampai mendetail hal ihwal negeri dan pemimpin mereka.
Abdurrahman Al-Ghafiqi pernah mengundang seorang dzimmi keturunan Perancis yang terikat perjanjian. Di antara isi perbincangan tersebut adalah sebagai berikut. Abdurrahman bertanya: “Mengapa raja kalian, Syarl tidak turun untuk membantu raja-raja lainnya yang berperang dengan kami?” Dzimmi itu menjawab: “Wahai gubernur, Anda telah menepati janji-janji kepada kami. Anda berhak kami per­cayai dan kami akan menjawab dengan jujur segala yang Anda ta­nyakan. Sesungguhnya panglima besar Anda, Musa bin Nushair te­lah berhasil menguasai seluruh Spanyol. Kemudian dia ingin melintasi pegunungan Pyrenees yang memisahkan Spanyol dengan negeri kami yang indah. Maka raja-raja kecil dan para rahib itu menghadap raja kami dan berkata: “Kehinaan apa yang akan menimpa kita, wahai Maha raja? Kami mendengar tentang kaum muslimin dan mengira mereka akan datang dari arah timur, namun ternyata mereka muncul dari arah barat dan langsung menguasai Spanyol. Padahal negeri ini memiliki persenjataan dan pertahanan yang kuat. Kini mereka mulai merayap di gunung-gunung yang membatasi Spanyol dengan negeri kita. Sebenarnya jumlah mereka kecil, persenjataan sedikit dan kebanyakan tidak memiliki pakaian perang yang bisa melindungi tubuh dari sabetan pedang atau kuda-kuda gagah untuk ditunggangi di medan tempur.
Kemudian Maha raja berkata: “Masalah ini sudah saya pikirkan secara mendalam dan saya mengira untuk saat ini kita tidak perlu meng­hadapi mereka secara langsung. Mereka orang-orang bermental baja, bagaikan gelombang besar yang menyapu semua penghalang dan mencampakkannya kemana dia suka. Selain itu, mereka adalah kaum yang memilki Akidah yang kokoh sehingga tak menghiraukan jumlah dan senjata. Mereka punya iman dan kejujuran yang jauh lebih berharga dibandingkan senjata, pakaian perang atau kuda. Oleh karena itu, lebih baik kita membiarkan mereka, kaum muslimin terus menumpuk harta dan ghanimah, lalu membangun rumah dan gedung-gedung serta melipatgandakan jumlah budak laki-laki dan perempuan dan lihatlah, mereka pasti akan berebut kekuasaan. Pada saat itu kita bisa menaklukkan mereka dengan mudah tanpa banyak pengorbanan…
Tersentaklah Abdurrahman Al-Ghafiqi, sedih rasanya mendengar berita itu. Dia menghela nafas dalam-dalam kemudian membubarkan majelis seiring dengan masuknya waktu shalat.
Dua tahun penuh Abdurrahman Al-Ghafiqi mempersiapkan diri untuk menyongsong perang besar itu. Beliau membentuk kesatuan-kesatuan prajurit dan tak henti-hentinya membakar gelora jihad mereka. Disamping itu, beliau juga meminta bantuan kepada para pemimpin Islam di Afrika untuk mengirim prajurit-prajurit mereka yang memiliki nyali jihad dan rindu syahid.
Setelah itu, beliau mengutus Utsman bin Abi Nus’ah amir penjaga perbatasan untuk menyibukkan musuh dengan serangan-serangan spo­radis sambil menunggu pasukan inti yang dipimpin oleh Abdurrahman Al-Ghafiqi tiba di medan perang.
Akan tetapi, ternyata pilihan Abdurrahman Al-Ghafiqi keliru. Utsman bin Abin Nus’ah adalah orang yang ambisius tetapi berwatak le­mah. Jarak yang jauh dari pemimpinnya membuka peluang ba­ginya untuk melakukan langkah-langkah yang bisa mengangkat namanya tanpa mempedulikan persoalan lainnya. Dia bahkan men­culik puteri Duke Octania bernama Minin, seorang puteri yang amat jelita. Dalam dirinya terkumpul kecantikan, kebangsawanan, usia belia dan keka­yaan sebagai penghuni istana. Tak heran bila Utsman bin Abi Nus’ah akhirnya tergila-gila padanya dan memberikan perhatian berlebih di­banding kepada seorang istri. Putri itu mengu­sulkan agar Utsman bin Abi Nus’ah mengadakan perjanjian damai dengan Duke Octania di­sertai jaminan bahwa ayah Minin itu aman dari serangan prajurit Islam.
Begitulah, tatkala tiba perintah Abdurrahman Al-Ghafiqi untuk me­nyerbu wilayah kekuasan Duke Octania, rasa bimbang me­nye­limuti hati Ibnu Abi Nus’ah. Dia tak tahu harus berbuat apa, tapi kemudian dia membujuk agar Abdurrahman Al-Ghafiqi mem­batalkan perin­tah­nya. Dia benar-benar tak sanggup mengkhianati janjinya terhadap ayah mertuanya sebelum habis masanya.
Bukan main berangnya Abdurrahman Al-Ghafiqi begitu me­nge­tahui duduk perkaranya. Melalui utusan, beliau berpesan kepada Utsman bin Abi Nus’ah: “Perjanjian yang Anda lakukan tanpa seizin pemimpin adalah tidak sah, maka tak ada keharusan bagi prajurit Islam untuk mematuhinya. Sekarang laksanakan perintahku segera, seranglah musuh sekarang juga!
Ibnu Abi Nus’ah merasa putus asa karena gagal melunakkan sikap gubernurnya. Dia bersegera mengirim utusan kepada ayah mer­tua­nya untuk memberitahukan apa yang terjadi dan memperi­ngatkan agar waspada terhadap pasukan kaum muslimin.
Namun sayang, mata-mata Abdurrahman Al-Ghafiqi yang selalu mengawasi gerak-geriknya mengetahui hal itu dan melaporkan hu­bungan Utsman bin Abi Nus’ah dengan musuh kepada Abdurrahman Al-Ghafiqi. Segera setelah itu, Al-Ghafiqi mengirimkan pasukan khu­susnya yang tangguh di bawah komando Mujahid untuk mem­bawa Utsman bin Abi Nus’ah, hidup atau mati.
Serangan dilakukan secara mendadak. Operasi itu nyaris berhasil, namun Utsman bin Abi Nus’ah berhasil meloloskan diri dari ke­pu­ngan. Dia lari ke gunung disertai beberapa orang, demikian pula dengan Minin, istri cantiknya yang tak bisa lagi dipisahkan darinya.
Hal itu tidak membuat prajurit Islam patah arang. Mereka terus me­ngejar dan akhirnya berhasil menyudutkan pengkhianat itu di sua­tu tempat. Akhirnya, Utsman bin Abi Nus’ah mempertahankan diri habis-habisan. Dia tewas karena banyaknya tusukan tombak dan sa­betan pedang yang melukai tubuhnya. Mayatnya segera dikirim ke­pada Abdurrahman Al-Ghafiqi bersama istrinya.
Begitu melihat Minin, Abdurrahman Al-Ghafiqi segera mema­lingkan wajahnya. Wanita itu memang cantik luar biasa. Selanjutnya dia dikirim ke Damaskus untuk diserahkan kepada khalifah. Maka tamatlah riwayat wanita Perancis itu di istana Umawiyah di Damas­kus.
( Pahlawan Perang di Balath Syuhada )
Seorang sastrawan Inggris, Southy, menuliskan tentang pasu­kan Islam yang menyerbu daratan Eropa setelah menguasai Andalusia, dia berkata:
Banyaknya pasukan tidak terhitung jumlahnya, ada yang dari suku Arab Barbar, Romawi, Persia, Qibti, Tartar,… semua berkumpul di bawah satu panji, disatukan oleh panglima yang agung. Ke­kuat­an­nya tangguh, semangatnya bergelora seperti api dan rasa persau­daraannya begitu mengagumkan, tak membeda-bedakan sesama manusia.
Dalam jiwa Pemimpin dan yang dipimpin tertanam tekad yang bulat un­tuk berjuang. Mereka optimis akan kekuatannya yang tak ter­ka­lahkan, dan yakin bahwa pasukannya tak akan menemui kesulitan. Optimis, bahwa setiap langkah akan diikuti oleh kemenangan. Mereka terus maju dan maju hingga dunia Barat takluk pada dunia Timur, tertun­duk menghormat nama Muhammad S.A.W.
Orang-orang dari kutub yang penuh dengan pegunungan es yang dingin membeku datang jauh-jauh untuk melaksanakan haji. Melin­tasi sahara dengan kaki telanjang dengan penuh iman, berjalan di gurun pasir yang panas di Arab, berdiri di atas terjalnya bebatuan di Mekah.
Memang, apa yang Anda katakan tak jauh dari kenyataan. Kha­yalanmu pun tidak pula meleset. Prajurit yang dipimpin oleh para mujahidin itu memang ingin membebaskan nenek moyang Anda dari kegelapan jahiliyah, seperti yang Anda sebutkan.
Ikut serta dalam pasukan tersebut orang-orang Arab yang perkasa. Allah S.W.T telah membangkitkan mereka dan membimbingnya untuk mendatangi kalian dari Syam, Hijaz, Najd, Yaman dan pelosok-pelo­sok jazirah Arab, menggulung segala sesuatu laksana badai. Mereka disertai pula oleh orang-orang Barbar yang bangga akan keislam­an­nya, yang turun dari pegunungan Atlas, menyapu bagaikan air bah. Juga orang-orang Persia, yang telah terlepas dari belenggu paganisme kaisar-kaisarnya dan masuk ke dalam agama tauhid, jalan yang lurus. Tak ketinggalan pula orang-orang Romawi, pembelot menurutmu, me­mang mereka membelot dari kezhaliman dan kegelapan menuju ca­haya terangnya langit dan bumi dan menerima hidayah menuju agama yang suci. Kemudian orang-orang Qibti, yang bebas dari perbudakan dan belenggu yang mencekik leher, beralih kepada kehidupan yang bebas merdeka di bawah panji Islam, kembali suci seperti saat dilahirkan ibunya.
Tepat sekali, memang pasukan pimpinan Abdurrahman Al-Ghafiqi maupun para penghulunya datang untuk melepaskan nenek moyang kalian dari belenggu jahiliyah. Di antara mereka ada yang berkulit putih, hitam, Arab dan Ajam (non Arab). Tapi mereka bersatu dalam Islam. Nikmat Allah menjadikan mereka bersaudara. Semangat me­reka seperti yang engkau sebutkan adalah untuk memasukkan orang-orang Eropa ke dalam agama Allah sebagaimana orang-orang di be­lahan bumi bagian timur dan Afrika. Sehingga umat manusia selu­ruhnya tunduk kepada Allah S.W.T, pencipta alam semesta.
Dengannya cahaya Islam akan menyinari dataran dan lembah kalian, mataharinya memancar di setiap rumah kalian dan keadilan tegak di antara rakyat dan penguasa kalian. Mereka bertekad mengor­bankan nyawa mereka yang berharga untuk membimbing kalian ke jalan Allah dan menyelamatkan kalian dari api neraka.
Sekarang, marilah kita ikuti akhir perjalanan pasukan Islam dan panglimanya yang agung, Abdurrahman Al-Ghafiqi.
Kabar tewasnya Utsman bin Abi Nus’ah dan nasib puterinya yang jelita, Minin, mengejutkan Duke Octania. Dia sadar bahwa genderang perang telah ditabuh. Cepat atau lambat singa Islam, Abdurrahman Al-Ghafiqi akan menyerbu kapan saja, tak peduli siang atau malam.
Kaisar Duke Octania segera mempersiapkan diri untuk memper­tahankan setiap jengkal wilayahnya. Hanya saja bayang-bayang bu­ruk selalu menghantuinya. Dia khawatir akan menjadi tawanan kaum muslimin seperti puterinya yang kini dikirim ke Syam. Dia takut ke­palanya akan dipenggal kemudian ditaruh di atas talam dan diarak ke­liling kota seperti Loderik, raja Andalusia dahulu.
Dugaan Duke Octania tepat, tiba-tiba Abdurrahman Al-Ghafiqi benar-benar datang bersama pasukan yang luar biasa besarnya, menyerbu dari Spanyol utara bagai gelombang pasang dan turun ke wilayah Pe­rancis selatan dari pegunungan Pyrenees laksana air bah. Pra­juritnya mencapai 100.000 orang dan setiap batalyonnya didampingi oleh prajurit-prajurit pilihan yang bertubuh tinggi besar.
Prajurit Islam masuk melalui kota Arles yang terletak di tepi sungai Rhone. Pertimbangannya adalah karena kota ini terikat perjanjian damai dengan muslimin dan telah menyetujui kewajiban membayar jizyah. Namun ternyata setelah gubernur As-Samah bin Malik Al-Khaulani gugur di Toulouse dan kekuatan muslimin melemah, mereka melanggar perjanjian dan menolak membayar jizyah.
Kedatangan Abdurrahman Al-Ghafiqi dan pasukannya di perba­tasan Azil, disambut oleh pasukan besar yang disiapkan oleh Duke Octania untuk menghambat gerak maju pasukan Islam. Dua kekuatan berhadapan. Perang besar tak terelakkan lagi. Pasukan pertama yang dikerahkan Abdurrahman Al-Ghafiqi ada­lah pasukan khusus yang lebih mencintai mati daripada kecintaan mu­suh terhadap kehidupan. Mereka berhasil menggoyahkan dan akhir­nya memporak-porandakan barisan musuh. Pertempuran terus me­rambat ke dalam kota. Pedang-pedang berkelebat membabat kiri-ka­nan. Pasukan Islam mendapatkan hasil ghanimah di luar perhitungan.
Namun sayang, Duke Octania berhasil meloloskan diri dari medan beserta sisa-sisa pasukannya. Sehingga dia masih menyimpan potensi ber­siap-siap menyongsong pertempuran selanjutnya, sebab dia sadar bah­wa pertempuran di Arles baru awal dari suatu perang yang pan­jang.
Bersama pasukannya, Abdurrahman Al-Ghafiqi menyeberangi su­ngai Garonne. Kemenangan demi kemenangan mereka raih. Satu demi satu kota-kota Octania dapat direbut melalui pasukan kava­le­rinya, seperti daun-daun yang berguguran diterpa angin. Ghanimah makin menumpuk hingga mencapai jumlah yang belum pernah di­jumpai sebelumnya.
Duke Octania berusaha membendung pasukan Islam untuk kedua kalinya dengan mempersiapkan suatu pertempuran besar. Namun kali inipun kaum muslimin mampu mengatasinya. Mereka manghajar dan meluluhlantakkan pasukannya. Duke Octania kembali lolos meninggalkan para prajuritnya yang kocar-kacir. Banyak yang gugur, tidak sedikit yang tertawan dan ada pula yang lari dari medan perang. Target serangan berikutnya adalah Bordeaux, kota terbesar di Pe­rancis pada waktu itu sekaligus merupakan ibukota Octania. Perang untuk memperebutkan Bordeaux tak kalah serunya dengan pepe­rangan-peperangan yang telah lalu. Sistem pertahanannya tentu lebih kokoh. Tapi dengan perjuangan yang tak kenal lelah, kota besar ini da­pat direbut oleh pasukan muslimin seperti kota-kota lainnya. Para panglima musuh gugur sebagaimana teman-teman yang telah men­dahului mereka.Banyak sekali harta ghanimah yang diperoleh dalam perang ini. Tapi yang lebih penting adalah dengan jatuhnya Bordeaux meru­pa­kan kunci pembuka kota-kota penting Perancis lainnya, seperti Lyon, Besancon dan Sens sehingga posisi pasukan Islam saat itu tinggal sera­tus mil saja dari Paris.
Dunia Eropa tersentak mendapati bahwa Perancis selatan telah takluk di tangan Abdurrahman Al-Ghafiqi dalam waktu beberapa bulan saja. Mata dunia Barat terbuka akan bahaya besar yang meng­hadang di hadapan mereka.
Anjuran partisipasi menggaung di seluruh penjuru Eropa. Setiap orang, mampu atau tidak, diharapkan partisipasinya untuk mem­bendung arus timur yang deras itu. Bila tak mampu membendung dengan pedang, hendaknya menahan dengan dadanya. Bila senjata habis hendaknya jalanan ditutup dengan tubuh mereka. Eropa bang­kit menyambut seruan itu. Orang-orang berdatangan dari segala pen­juru dengan membawa apa saja yang bisa digunakan, batu-batu, kayu, duri dan pedang. Mereka bersatu padu di bawah komando Karel Martel.
Dalam waktu yang bersamaan prajurit Islam telah tiba di Tours, kota Perancis yang padat penduduknya dan menyimpan bangunan-bangunan tua yang indah. Kota ini bangga dengan gereja-gereja besarnya yang terindah di seluruh Eropa dan berisi penuh kekayaan yang tak ternilai harganya.
Prajurit Islam mengepung melingkar layaknya kekang kuda yang melingkari leher kuda. Mereka siap berkorban nyawa untuk merebut kota ini. Dan benar, Tours jatuh di depan mata dan pendengaran Karel Martel.
Akhir bulan Sya’ban 104 H Abdurrahman Al-Ghafiqi bersama pa­sukannya yang perkasa memasuki kota Poitiers. Mereka disambut oleh pasukan besar Eropa yang dipimpin oleh Karel Martel. Perang dahsyat antara kedua pasukan itu tidak hanya tercatat dalam sejarah Islam dan Barat saja, melainkan juga dalam sejarah umat manusia. Pertempuran tersebut dikenal dengan nama: “Balath Syuhada”, ka­rena banyaknya prajurit Islam yang syahid.
Ketika itu pasukan Islam benar-benar dalam puncak kejayaan yang gemilang. Namun sayang, punggung-punggung mereka terlalu berat memikul hasil ghanimah yang melimpah ruah. Abdurrahman Al-Ghafiqi menyaksikan itu dengan hati sedih dan khawatir. Beliau meng­­ khawatirkan kondisi pasukan. Bagaimana bisa tenang semen­tara hati dan pikiran para prajuritnya mulai beralih kepada harta ben­da itu? Di saat-saat yang menentukan justru jiwa mereka terbagi, sebelah mata memandang musuh dan sebelah lagi melirik harta-harta ghanimah.
Ingin sekali Abdurrahman menganjurkan pasukannya untuk melepaskan diri dari ghanimah yang bertumpuk-tumpuk itu. Tapi dia sangsi apakah mereka bisa menerima keputusan itu dengan se­nang hati. Maka tak ada jalan lain kecuali beliau harus mengum­pul­kan seluruh ghanimah di dalam tenda-tenda yang difungsikan sebagai gudang. Lalu diletakkan di belakang markas sebelum perang berkobar.
Dua pasukan yang sama besarnya mengambil posisi berhadapan. Beberapa hari suasana terasa tegang. Diam dan penuh selidik, seperti dua gunung besar. Masing-masing mengukur kekuatan lawan dan berpikir seribu kali untuk memilih saat yang tepat untuk menyerang.
Waktu demi waktu berlalu, Abdurrahman Al-Ghafiqi melihat bah­wa semangat pasukannya mulai menyala. Sepertinya kemampuan mereka dapat diandalkan dan optimis untuk menang. Maka beliau memutuskan agar pasukan Islam lebih dahulu menyerang.
Abdurrahman Al-Ghafiqi mulai menerobos pertahanan Barat de­ngan pasukannya laksana singa yang menerjang dengan ganas. Pihak Barat bertahan seperti benteng yang kokoh. Pertempuran berkecamuk sehari penuh dan belum terlihat tanda-tanda kemenangan pada salah satu pihak. Seandainya tak terhalang oleh gelapnya malam, niscaya mereka tak akan berhenti bertempur.
Memasuki hari kedua, Pertempuran kembali berkobar. Prajurit-prajurit Islam menyerang dengan gagah berani dan tekad yang kuat, namun pertahanan Barat belum pula tergoyahkan.
Perang berlangsung hingga tujuh hari berturut-turut dengan dah­syat. Pada hari kedelapan, sedikit demi sedikit barisan musuh mulai terkoyak. Harapan menangpun mulai terbayang. Laksana semburat cahaya fajar di pagi hari. Namun dalam waktu yang sama, seke­lompok prajurit Barat menyerang tempat penyimpanan harta gha­nimah dan menguasai hampir seluruhnya dengan mudah. Me­lihat hal itu, pasukan Islam mulai goyah. Sebagian besar dari mereka mundur ke balakang untuk menyelamatkan harta ghanimah tersebut hingga merusak pertahanan barisan depan.
Dengan gigih Panglima besar Abdurrahman Al-Ghafiqi berusaha mencegah para prajuritnya surut ke belakang, sambil terus menahan arus serangan dari depan dan menutupi celah-celah yang lemah. Dia bergerak cepat kesana-kemari dengan kudanya yang perkasa. Di saat itulah sebatang panah mengenai tubuhnya sehingga dia terjatuh dari kuda seperti seekor elang yang terjatuh dari puncak gunung. Maka terwujudlah syahid di medan perang yang didambakannya.
Akan halnya dengan pasukan Islam, melihat panglimanya gugur, mereka semakin berantakan, sedangkan musuh kian bersemangat me­­rangsek ke depan. Tak ada yang mampu menghentikan keganasan mereka selain malam yang mulai merayap.
Pagi harinya Karel Martel mendapati pasukan Islam sudah mun­dur dari medan perang Poitiers. Namun dia tak berani mengejar. Pa­dahal seandainya dia mengejarnya pastilah dia akan berhasil meng­hancurkan kaum muslimin. Dia mengira bahwa gerak mundur pa­su­kan Islam adalah disengaja untuk memancing mereka ke luar medan terbuka. Ia mengira itu merupakan strategi baru muslimin yang direncanakan malam sebelumnya. Maka Karel Martel memilih untuk tetap di tempat dan merasa cukup dengan membendung kekuatan yang membahayakan itu, lalu menikmati kemenangan yang diraihnya.
Balath Syuhada menjadi peristiwa monumental dalam sejarah. Di hari itu kaum muslimin telah menyia-nyiakan kesempatan emas yang terbuka lebar, bahkan kehilangan seorang pemimpin besar dan pahlawan yang tangguh bernama Abdurrahman Al-Ghafiqi. Peristiwa itu laksana ulangan tragedi Uhud yang memilukan.
Begitulah, semuanya telah menjadi sunnatullah terhadap hamba-hamba-Nya, tak ada yang kuasa merubah ataupun menggantinya.
Kabar kekalahan di Balath Syuhada menjadi tamparan yang meng­­goncangkan kaum muslimin di segenap pelosok. Duka dan pilu melanda setiap desa dan kota, memasuki setiap rumah Islam. Luka itu hingga kini masih terasa pedihnya, dan akan tetap diingat selagi ma­sih ada seorang muslim yang ada di permukaan bumi ini. Tapi, jangan Anda sangka tragedi itu hanya menyedihkan kaum muslimin saja. Orang-orang Barat yang berakal sehat pun merasakan demikian. Bagi mereka, kemenangan nenek moyang mereka atas kaum muslimin di Poitiers merupakan musibah besar bagi umat manusia, khususnya merugikan Eropa dalam mencapai kemajuan.
Sebagai bukti dari pendapat golongan ini, marilah kia simak ko­men­tar tentang kekalahan kaum muslimin di Balath Syuhada, oleh pe­mimpin redaksi majalah “Review Parlementer” yaitu Henry de Syambon: “Kalau saja bukan karena kemenangan pasukan Karel Mar­tel atas pasukan Islam di Perancis, tentu negeri kita tidak perlu teng­gelam dalam kegelapan kebodohan pada abad pertengahan. Tidak akan seburuk itu. Dan kita juga tidak perlu mengalami pembantaian besar-besaran yang didasari oleh fanatisme sekte-sekte agama. Benar. Seandainya tidak karena kemenangan Barat pada waktu itu, spanyol akan bisa hidup dalam kearifan Islam yang murni, selamat dari ke­ke­jaman badan-badan intelijen dan tidak terlambat menerima arus ke­majuan sampai delapan abad. Meski ada perbedaan rasa dan pandangan tentang kemenangan itu, yang jelas kita benar-benar berhutang budi pada kaum muslimin akan kemajuan ilmu, seni dan budaya luhur yang mereka bawa. Kita harus mengakui bahwa kaum muslimin adalah teladan tentang kemanusiaan yang sempurna di saat kita dahulu masih menjadi manusia Barbar yang ganas.” (*)
Sumber : Pustaka At-Tibyan, Jejak Para Tabi’in

0 komentar:

Posting Komentar