SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1431 H _ Taqabbalallahu minna wa minkum_ ja'alanallhu waiyyakum minal 'Aidzina wal Faizin ..

Ar Rabi'ah Ar Ra'yi

Minggu, 04 Juli 2010

Beliau seorang tabi’in, putra farrrukh yang memiliki nama kunyah (julukan) Abu Abdirraaman, beliau lahir tak lama ketika ayahnya meninggalkan madinah sebagai mujahid fi Sabilillah, lalu ibunya yang memelihara dan mendidiknya. Majelis beliau dihadiri oleh Malik bin Anas, Abu Hanifah An-Nu’man, Yahya bin Sa’id Al-Anshari, Sufyan Ats-Tsauri, Abdurrahman bin Amru Al-Auza’I, Laits bin Sa’id dan lain-lain. Suatu ketika beliau pernah berselisih paham berkelahi sama ayahnya sendiri, saling terkam, saling tuduh, saling cengkeram. Apa sebabnya sampai tabi’in yang mulia ini sempat berselisih paham sama ayahnya sendiri…. Jangan beranjak dapatkan jawabannya berikut dibawah ini. Baca sampai selesai yaa, selamat membaca. :)

AR-RABI’AH AR-RA’YI

Inilah saatnya kita berada di tahun 51 hijriyah. Tahun di mana kelompok-kelompok pasukan kaum muslimin memporak-po­ran­dakan sarang-sarang kekufuran di muka bumi, di Timur dan di Barat.

Mereka membawakan aqidah yang mantap bagi umat manusia, mengulurkan tangannya untuk kemaslahatan yang hakiki, menyebar­kan­nya hingga sampai ke sudut-sudut bumi untuk membebaskan ma­nusia dari peribadatan kepada sesama manusia dan membawa me­reka untuk mengabdi kepada Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya.

Saat di mana sahabat yang agung Ar-Rabi’ bin Ziyad Al-Haritsi, amir di Khurasan, pembuka pintu Sajistan dan panglima yang handal, tengah memimpin pasukan perangnya di jalan Allah, didampingi oleh seorang budaknya yang pemberani bernama Farrukh.
Setelah Allah mengaruniakan kemenangan atas Sajistan dan beberapa daerah lainnya, Ar-Rabi’ bermaksud melengkapi keme­na­ngannya yang gemilang dengan melintasi sungai Seyhun untuk me­ngi­barkan panji-panji tauhid di bukit-bukit yang disebut sebagai “ne­geri di belakang sungai” itu.

Ar-Rabi’ bin Ziyad mempersiapkan pasukan untuk menyongsong perang yang telah direncanakan itu, mengatur strategi dan mem­berikan pengarahan tentang saat yang tepat untuk menyerang, juga posisi mu­suh yang hendak diserangnya.

Tatkala perang benar-benar pecah, Ar-Rabi’ beserta pasukannya yang militan menampilkan kebolehannya yang selalu dikenang se­jarah dengan seruan tasbih dan pekikan takbir. Budaknya, Farrukh juga mem­per­lihatkan kegagahan dan ketangkasannya di medan pe­perangan hing­­ga bertambahlah kekaguman dan penghargaan Ar-Rabi’ terha­dap­nya.

Usailah peperangan, kemenangan jatuh di pihak pasukan kaum mus­­limin. Mereka telah menggoyahkan kaki-kaki musuh, mence­rai­beraikan barisannya. Setelah iu mereka menyeberangi sungai yang se­lama ini menjadi penghalang bagi penyebaran Islam di Turki dan negeri Cina yang jauh.

Setelah berhasil menyeberangi sungai dan menginjakkan kaki di tepian­nya, panglima beserta pasukannya langsung berwudhu. Semua menghadap ke kiblat, menunaikan shalat dua rekaat sebagai ungkap­an rasa syukur kepada Allah yang telah memenangkan mereka.

Selanjutnya, panglima besar memberikan hadiah kepada Farrukh atas andilnya yang besar dalam peperangan berupa kemerdekaan di­rinya. Farrukh juga mendapatkan bagian ghanimah yang banyak, ditambah lagi dengan pemberian secara pribadi dari panglima Ar-Rabi’.

Tak berselang lama pasca hari-hari bahagia ini, ajal menjemput Ar-Ar-Rabi’ bin Ziyad Al-Haritsi, tepatnya dua tahun sesudah cita-ci­tanya yang agung terwujud, dia kembali ke sisi Allah dengan penuh kerelaan.

Adapun Farrukh, si pemuda perkasa, dia kembali ke Madinah de­ngan membawa berbagai pemberian dari tuannya. Dia pulang me­nyan­dang tombak sekaligus membawa kemerdekaannya yang ber­harga, disamping kenangan indah tentang kejantanannya ketika ber­gumul dengan debu-debu jihad.

Farrukh kembali ke kota Rasulullah dalam usia yang masih cu­kup muda, lincah, perwira dan tangkas dalam berperang. Ketika itu usianya menginjak 30 tahun. Kini dia bertekad membangun mah­ligai rumah tangga, menyunting seorang gadis agar lebih tenang hidupnya. Dibelinya sebuah rumah yang sederhana di kota Ma­dinah, dipilihnya seorang gadis yang sudah matang pikirannya, sem­purna agamanya, serasi tubuh dan usianya.

Farrukh sangat bersyukur atas karunia Allah yang memberinya ru­mah dan istri yang shalihah. Sekarang dia benar-benar bisa me­rasakan kenikmatan hidup didampingi istri yang mampu mengatur se­mua tatanan kehidupan, persis seperti yang diharapkan dan dicita-citakannya.

Namun rupanya rumah yang nyaman dengan segala kebutuhan hidup dan istri yang shalihah beserta akhlak dan kecantikan yang telah Allah karuniakankepadanya tak mampu meredam gejolak ke­rin­duan­nya terhadap jihad fi sabilillah. Pahlawan mukmin ini ingin kembali me­­masuki medan tempur dengan membawa kerinduan akan suara den­tuman senjata dan dahsyatnya jihad fi sabilillah. Setiap kali men­dengar berita tentang kemajuan yang dicapai pasukan muslimin, makin bertambah kerinduannya untuk berjihad, makin dalam hasratnya untuk dapat mati syahid.

Hari Jum’at, khatib masjid Nabawi memberikan kabar gembira ten­­tang kemenangan kaum muslimin di berbagai medan perang. Kha­thib juga memberikan motivasi orang-orang untuk terus berjihad fi sabililah, menjelaskan kepada mereka akan keutamaan syahid demi me­ninggikan agama-Nya. Pulanglah Farrukh ke rumahnya sedang di hatinya telah bulat tekadnya untuk berjuang di bawah panji-panji kaum muslimin yang bertebaran di muka bumi. Kemudian beliau ceritakan tekadnya kepada istrinya, sehingga istrinya bertanya: “Wa­hai Abu Abdirrahman, kepada siapa engkau hendak menitipkan aku beserta janin dalam kandunganku ini, sedangkan engkau adalah orang asing yang tak punya sanak keluarga di kota ini?”

Farrukh berkata: “Aku titipkan engkau kepada Allah dan rasul-Nya. Kemudian aku tinggalkan untukmu uang 30.000 dinar, hasil yang kukumpulkan dari pembagian ghanimah peperangan. Pakailah se­cu­kupnya untuk keperluanmu dan keperluan bayi kita dengan sebaik-baik­nya sampai aku kembali dengan selamat dan membawa ghanimah, atau Allah memberi aku rizki sebagai syuhada’ seperti yang saya dambakan.” Kemudian beliau pamit kepada istrinya, pergi memburu cita-citanya.

Beberapa bulan setelah keberangkatan Farrukh, istrinya yang bi­jak­sana itu melahirkan seorang bayi laki-laki yang cakap dan ber­wajah tampan. Sang ibu menyambutnya dengan penuh bahagia hing­ga mampu mengalihkan perhatiannya yang telah sekain lama ber­pi­sah dengan suaminya. Bayi laki-laki itu diberi nama Ar-Rabi’ah.

Tanda-tanda ketangkasan telah nampak pada diri anak itu sejak kecil. Nampak pula tanda-tanda kecerdasan pada perkataan dan ting­kah lakunya. Oleh ibunya, Ar-Rabi’ah diserahkan kepada guru-guru agar mendapatkan pendidikan dengan layak. Di samping itu, diun­dang­kan pula untuknya pengajar dalam adap untuk mendidik budi pekerti kepadanya.

Dalam waktu yang tidak begitu lama, kecerdasan Ar-Rabiah ber­kem­bang begitu pesat. Pada mulanya mahir baca tulis, lalu hafal Kitabullah dan mampu membacanya dengan lantunan yang indah seperti tatka­la dibaca oleh para sahabat terdahulu. Sesudah itu beliau mendalami hadits-hadits Rasulullah dari yang paling mudah, mempelajari bahasa Arab yang baik dan benar, juga mempelajari perkara-perkara agama yang wajib untuk diketahui.

Ibunda Ar-Rabi’ah memberikan imbalan yang cukup dan hadiah-hadiah yang berharga kepada para guru puteranya. Setiap kali nam­pak kemajuan pada diri Ar-Rabi’ah, dia tambahkan pemberiannya.

Dengan kesibukan tersebut sang ibu masih senantiasa menanti ke­da­tangan ayah puteranya yang pergi sudah begitu lama. Karena itulah dia berusaha keras mendidik puteranya agar kelak bisa menjadi pe­nyejuk pandangannya dan juga suaminya jika sewaktu-waktu suami­nya datang.

Namun ternyata Farrukh begitu lama tak kunjung datang, kemu­dian terdengarlah kabar burung dan isu yang bermacam-macam ten­tangnya. Ada yang mengatakan bahwa Farrukh ditawan musuh, ada pula yang mengatakan bahwa ia masih meneruskan jihadnya. Yang lain lagi berkata bahwa beliau telah mendapatkan syahid di medan perang seperti yang diidamkannya. Ummu Ar-Rabi’ah men­duga bahwa pendapat terakhirlah yang paling mungkin, mengingat berita tentang Farrukh terputus sama sekali. Beliau menjadi sedih, tetapi kemudian beliau kembalikan segala persoalan kepada Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang.

Ketika Ar-Rabi’ah menginjak usia remaja dan hampir baligh, orang-orang menasihati ibunya: “Sekarang Ar-Rabi’ah sudah dewasa. Se­baik­nya dia tidah usah lagi belajar membaca dan menulis.” Ada pula yang usul: “Dia sudah mampu menghafal Al-Qur’an dan meri­wa­yatkan hadits, lebih baik engkau suruh dia bekerja agar ia bisa mencari nafkah untuk dirinya sendiri dan juga dirimu.” Namun Ibunya ber­kata: “Aku memohon kepada Allah agar memilihkan baginya apa yang terbaik bagi dunia dan akhiratnya. Sesungguhnya Ar-Rabi’ah memilih untuk terus menuntut ilmu, dia bertekad senantiasa belajar dan mengajar selama hidupnya.”

Ar-Rabi’ah menapaki jalan hidup yang sudah digariskan atasnya dengan penuh semangat dan tak mau membuang waktu. Beliau rajin men­datangi halaqah-halaqah ilmu yang memenuhi Masjid Nabawi dengan membawa rasa haus akan sumber-sumber pengetahun yang baik. Beliau bersahabat baik dengan sisa-sisa sahabat utama, di an­ta­ranya Anas bin Malik, pembantu Rasulullah , mengenyam ilmu dari para tabi’in terkemuka seperti Sa’id bin Musayyab, Makhul Asy-Syami dan Salamah bin Dinar.

Beliau terus belajar hingga larut malam, sampai lelah…Kawan-kawannya menasihati agar dia menjaga dan menyayangi dirinya sen­diri, namun dia berkata: “Aku mendengar dari orang-orang tua dan guru-guruku berkata: “Sesungguhnya ilmu tidak akan memberikan se­bagian dari dirinya kepadamu kecuali jika kamu memberikan se­lu­ruh jiwamu untuk mendapatkannya.”

Tak heran bila sebentar kemudian namanya sudah tersohor, men­jadi tinggi pamornya, semakin banyak kawannya, dihargai oleh mu­rid-muridnya dan diunggulkan oleh kaumnya.

Kehidupan ulama Madinah ini begitu cemerlang, dibagilah hari-ha­rinya. Sebagian untuk keluarganya di rumah, sebagian lagi di masjid Nabawi menghadiri kajian ilmu dan halaqah-halaqah. Sampai suatu kali terjadi peristiwa yang sama sekali tak terduga dalam hidupnya…

Malam itu, di musim panas bulan bersinar dengan terangnya. Se­orang pra­jurit berusia enam puluhan tahun memasuki kota Ma­dinah. Dia menyusuri jalan-jalan kampung menuju rumah­nya dengan naik kuda. Dia tidak tahu apakah rumahnya masih seperti yang dulu atau sudah berubah, karena telah dia tinggalkan sekitar tiga puluh tahun yang lalu.

Dia bertanya-tanya dalam hati, apa yang sedang dilakukan istrinya saat ini? Istrinya yang masih muda dan yang ditinggalkannya di ru­mah dulu, bagaimana dengan kandungannya, lahir laki-laki atau pe­rem­puan?Apakah anak itu hidup atau mati? Jika hidup, apa yang te­­ngah dilakukannya? Dia juga teringat akan uang perolehan jihad yang ditinggalkannya untuk istrinya, kemudian dia pergi sebagai mu­jahid fi sabilillah. Berangkat bersama pasukan muslimin untuk mem­buka daerah Bukhara, Samarkand dan sekitarnya.

Masih banyak orang hilir mudik di perkampungan Madinah, me­ngingat baru saja shalat Isya’ usai ditunaikan. Tetapi orang-orang itu berlalu begitu saja. Tidak ada yang mengenalinya, tak ada yang meng­hiraukannya, tak ada yang memperhatikan kuda atau pedang yang tersandang di pundaknya, sebab mereka yang tinggal dikota-kota Islam sudah tak asing lagi melihat mujahidin yang pulang pergi untuk berperang fii sabilillah.

Rasa penasaran dan was-was menggelayuti pikiran prajurit tua ini. Saat ia masih sibuk memikirkan jalan-jalan dan bangunan yang telah banyak berubah, tiba-tiba ia dapatkan dirinya telah berada di de­pan rumahnya. Dia dapatkan pintunya sedikit terbuka. Kegem­biraannya yang meluap menyebabkan ia lupa meminta ijin kepada yang berada di dalam rumah. Iapun nyelonong masuk rumah melalui pintu ter­sebut.

Si empunya rumah yang mendengar suara pintu terbuka me­nengok dari lantai atas rumahnya. Maka dalam cahaya bulan dili­hatnya ada seorang yang menyandang pedang dan membawa tom­bak, malam-malam memasuki kediamannya.

Laki-laki yang menghuni rumah itupun meloncat dengan marah dan turun sambil membentak: “Engkau berani memasuki rumah dan menodai kehormatanku malam-malam, wahai musuh Allah?!”

Dia menerkam bagaikan singa yang mengamuk ketika sarangnya hendak dirusak. Tak ada kesempatan lagi untuk bicara. Keduanya langsung bergulat, saling terkam, saling tuduh dan makin lama makin panas. Para tetangga dan orang-orang di jalanan mengerumuni dua orang yang sedang berkelahi itu. Mereka hendak mengeroyok orang asing itu untuk membela tetangganya.

Beberapa jurus kemudian, laki-laki yang di rumah itu menceng­keram kuat-kuat leher lawannya seraya berkata: “Wahai musuh Allah, Demi Allah aku tak akan melepaskanmu kecuali di muka hakim!”

Orang asing itu berkata: “Aku bukan musuh Allah dan bukan pen­jahat. Tapi ini rumahku, milikku, kudapati pintunya terbuka lalu aku masuk.” Dia menoleh kepada orang-orang sembari berkata: “Wa­hai saudara-saudara, dengarkan keteranganku. Rumah ini milikku, kubeli dengan uangku. Wahai kaum, aku adalah Farrukh. Tiadakah seorang tetangga yang masih mengenali Farrukh yang tiga puluh tahu lalu pergi berjihad fi sabilillah?”

Bersamaan itu, ibu si empunya rumah yang sedang tidur ter­bangun oleh keributan itu lalu menengok dari jendela atas dan melihat suaminya sedang bergulat dengan darah dagingnya. Lidahnya nyaris kelu. Namun dengan sekuat tenaga dia berseru: “Lepaskan…lepaskan dia, Rabiah…lepaskan dia, puteraku, Dia adalah ayahmu…dia ayah­mu…Saudara-saudara, tinggalkanlah mereka, semoga Allah mem­berkahi kalian, Tenanglah, Abu Abdurrahman, dia putera­mu…dia puteramu…jantung hatimu…”

Demi mendengar teriakan itu, seketika Farrukh memeluk dan men­ciumi puteranya. Begitu pula Ar-Rabi’ah, beliau mencium tangan ayah­nya. Orang-orangpun bubar meninggalkan keduanya.

Turunlah Ummu Ar-Rabiah untuk menyambut suaminya dan mem­beri salam. Padahal dia tak mengira bisa bertemu lagi dengan suami­nya setelah hampir sepertiga abad terputus kabar beritanya.

Suatu kali, Farrukh duduk-duduk bersama istrinya, bercerita asyik tentang keadaannya dan sebab-musabab terputusnya berita darinya. Namun isterinya tak bisa menikmati ceritanya, karena tiba-tiba mun­cul perkara yang menggelayuti pikirannya. Kebahagiaannya ber­kumpul dengan suaminya dibayangi kekhawatiran akan masalah uang titipan suaminya yang telah ludes. Dalam hati dia bergumam: “Apa yang harus aku katakan bila suamiku menanyakan uang yang diamanatkan kepadaku agar kumanfaatkan dengan baik, bagaimana kiranya sikap suamiku bila aku katakan bahwa hartanya itu sudah ha­bis tak tersisa. Bisakah dia menerima alasanku bahwa uang itu ha­bis untuk biaya pendidikan puteranya? Percayakah dia bahwa pen­didikan putranya sampai menghabiskan 30 ribu dinar? Bisakah suami­nya percaya bahwa tangan puteranya lebih pemurah dari awan yang mencurahkan hu­jannya? sementara dia tidak menyisakan satu dir­hampun? Seluruh pen­duduk Madinah tahu bahwa dia sangat pe­mu­rah dalam mem­be­ri­kan bayaran kepada guru-guru puteranya.

Selagi pikirannya terbang jauh, tiba-tiba suaminya menoleh kepa­danya dan berkata: “Aku membawa uang 4.000 dinar. Ambillah uang yang aku titipkan kepadamu dahulu. Kita kumpulkan lalu kita belikan kebun atau rumah. Kita bisa hidup dari hasil sewanya selama sisa usia kita.”

Ummu Ar-Rabi’ah pura-pura sibuk dan tidak menjawabnya, suami­nya mengulangi pertanyaannya: “Lekaslah, mana uang itu? bawalah kemari agar bisa disatukan dengan hasil yang kubawa.”

Dia berkata: “Aku letakkan uang tersebut di tempat yang semes­tinya dan akan kuambil beberapa hari lagi insya Allah…

Pembicaraan antara keduanya terputus lantaran terdengar suara adzan. Farrukh bergegas mengambil air wudlu lalu menuju ke pintu sambil bertanya: “Mana Ar-Rabi’ah?”

Istrinya menjawab: “Dia sudah lebih dahulu berangkat ke masjid. Saya ki­ra engkau akan tertinggal shalat berjama’ah.”

Sampailah Farrukh di masjid, beliau mendapati imam sudah me­nye­lasaikan shalatnya. Diapun segera shalat, kemudian menuju ke makam Rasulullah dan mengucap shalawat atasnya, setelah itu mengambil tempat di Raudhah muthahharah (tempat antara makam nabi dengan mimbarnya). Betapa rindunya beliau untuk shalat. Maka beliau memilih tempat untuk shalat sunnah kemudian beliau berdo’a sekehendaknya.

Ketika beliau berhasrat untuk pulang, dilihatnya ruangan masjid sudah padat dengan orang yang hendak belajar, pemandangan yang belum ia saksikan sebelumnya. Mereka duduk melingkari syeikh ma­jelis ilmu tersebut sampai tak ada lagi tempat kosong untuk berjalan. Dia mengamati, ternyata orang-orang yang hadir itu ada yang telah lanjut usia, orang-orang yang terlihat berwibawa nampak sebagai orang terhormat, juga para pemuda. Mereka semua duduk meng­ham­parkan lututnya, masing-masing memegang buku dan pena un­tuk mencatat semua uraian syeikh itu, kemudian dihafalkan. Semua me­ngarahkan pandangan kepada syeikh majelis. Dengan tekun me­reka mendengarkan dan mencatat hingga seolah-olah kepala mereka seperti burung yang bertengger. Para mubaligh mengulangi kata demi kata dari syeikh itu, agar tidak ada seorangpun yang keliru mende­ngarnya mengingat jaraknya yang cukup jauh.

Farrukh berusaha melihat wajah syeikh yang luar biasa itu tetapi ni­hil, karena orang-orang terlalu padat dan jaraknya yang cukup jauh. Dia kagum dengan segala perkataan syeikh itu, juga pada inga­tannya yang tajam dan ilmunya yang luas, juga antusias hadirin yang untuk mendengarkannya.

Beberapa waktu kemudian majelis itupun usai. Syeikh berdiri dari tempatnya, sementara orang-orang langsung berkerumun dan mengi­ringkannya hingga keluar masjid.

Farrukh yang belum beranjak dari tempatnya bertanya kepada fulan yang di sebelahnya,

Farrukh : “Siapakah syeikh yang baru saja berceramah?”

Fulan : “Apakah Anda bukan penduduk Madinah?”

Farrukh : “Saya penduduk sini.”

Fulan : “Masih adakah di Madinah ini orang yang tak mengenal syeikh yang memberikan ceramah itu?”

Farrukh : “Maaf, saya benar-benar tidak tahu karena sudah sejak 30 tahun lalu saya meninggalkan kota ini dan baru kemarin saya kembali.”

Fulan : “Tidak apa, duduklah sejenak, akan saya jelaskan. Syeikh yang Anda dengarkan ceramahnya tadi adalah seorang tokoh ulama tabi’in, termasuk di antara ulama yang terpandang, dialah ahli hadits di Madinah, fuqaha dan imam kami meski usianya masih sangat muda.”

Farrukh : “Masya Allah…laa quwwata illa billah.” (tidak ada kekuatan kecuali dari Allah).

Fulan : “Majelisnya dihadiri oleh Malik bin Anas, Abu Hanifah An-Nu’man, Yahya bin Sa’id Al-Anshari, Sufyan Ats-Tsauri, Abdurrahman bin Amru Al-Auza’i, Laits bin Sa’id dan lain-lain.”

Farrukh : “Tetapi Anda belum…”

Orang tersebut tidak memberinya kesempatan untuk bicara. Dia melanjutkan pujiannya.

Fulan : “Di samping itu dia sangat dermawan dan bijaksana. Tidak ada di Madinah ini orang yang lebih dermawan terhadap kawan dan keluarga darinya. Dia hanya mengharapkan apa yang ada di sisi Allah .”

Farrukh : “Tetapi, Anda belum menyebutkan namanya.”

Fulan : “Namanya adalah Ar-Rabi’ah Ar-Ra’yi.”

Farrukh : “Ar-Rabi’ah Ar-Ra’yi?”

Fulan : “Nama aslinya Ar-Rabi’ah, tetapi para ulama dan pemuka Madinah biasa memanggilnya Ar-Rabi’ah Ar-Ra’yi. Karena setiap kali mereka menjumpai kesulitan atau merasa tidak jelas tentang suatu nash dalam Kitabullah dan hadits, mereka selalu bertanya kepadanya. Kemudian beliau berijtihad dalam masalah itu, me­nyebutkan qias apabila tidak ada nash sama sekali, serta menyim­pulkan hukum bagi mereka yang memerlukannya secara bijak dan menenteramkan hati.”

Farrukh : “Anda belum menyebutkan nasabnya.”

Fulan : “Dia adalah Ar-Rabi’ah putera Farrukh yang memiliki ku­n­yah (julukan) Abu Abdirrahman. Dilahirkan tak lama setelah ayah­nya meninggalkan Madinah sebagai mujahid fi sabilillah, lalu ibu­nya­­­lah yang memelihara dan mendidiknya. Tapi sebelum sha­lat ta­di saya mendengar dari orang-orang bahwa ayahnya telah datang kemarin malam.”

Tiba-tiba saja melelehlah air mata Farukh tanpa lawan bicaranya tahu penyebabnya. Kemudian beliau mempercepat langkahnya untuk pulang.

Begitu melihat suaminya datang sambil meneteskan air mata, ibunda Ar-Rabi’ah bertanya: “Ada apa wahai Abu Abdirrahman?” Be­liau menjawab: “Tidak apa-apa, aku melihat puteraku berada dalam kedudukan ilmu dan kehormatan yang tinggi, yang tidak kulihat pada orang lain.”

Kesempatan tersebut dipergunakan oleh Ummu Ar-Rabi’ah untuk menjelaskan tentang harta amanat suaminya yang ditanyakan se­be­lumnya. Dia berkata: “Menurut Anda manakah yang lebih Anda sukai, uang 30.000 dinar atau ilmu dan kehormatan yang telah dicapai pu­te­ramu?” Farrukh berkata: “Demi Allah, bahkan ini lebih aku sukai da­ripada dunia dan seisinya.”

Ummu Ar-Rabi’ah berkata: “Ketahuilah wahai suamiku, aku telah menghabiskan semua harta amanatmu itu untuk membiayai pen­di­dikan putera kita. Ridhakah Anda dengan apa yang telah aku per­buat?” Farrukh berkata: “Ya, semoga Allah membalas jasamu atasku, anak kita dan juga kaum muslimin dengan balasan yang baik. “

Sumber: Pustaka At-Tibyan, Solo, Jejak Para Tabi’in

0 komentar:

Posting Komentar